Segala puji bagi Allah Ta’ala, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kerancuan seputar alkohol sudah muncul sejak lama. Mulai dari penggunaan alkohol dalam parfum, dalam obat-obatan atau alkohol yang ada dalam makanan seperti tape. Di antara kekeliruan selama ini adalah penilaian bahwa yang namanya alkohol pastilah khomr. Sehingga orang awam pun ragu mengenai status kehalalan parfum atau obat-obatan yang mengandung alkohol.
Tulisan ini mudah-mudahan bisa menjawab beberapa kerancuan yang selama ini terjadi. Penulis mengawalinya dengan membahas dari membahas hal-hal yang berkaitan dengan khomr. Kemudian kami pun akan mengangkat pembahasan alkohol dalam ilmu kimia. Setelah itu melangkah ke pembahasan alkohol yang ramai diperbincangkan.
Hanya Allah yang memberikan kemudahan.
MENGENAL APA ITU KHOMR
Setiap orang yang mendengar kata “khomr” kadangkala mengartikannya dengan minuman beralkohol. Namun dalam syari’at Islam yang sempurna, khomr bukanlah terbatas pada minuman beralkohol saja. Makna khomr sebenarnya lebih luas dari itu.
Definisi Khomr secara Bahasa
Khomr secara bahasa bermakna buah anggur yang diperas dan bisa memabukkan. Khomr disebut demikian karena khomr bisa menutupi akal. Jadi, secara bahasa khomr berasal dari anggur, bukan berasal dari jenis lainnya.[1]
Namun Al Fairuz Abadi dalam Al Qomus Al Muhith mengatakan bahwa khomr bisa lebih umum daripada itu, yaitu diqiyaskan pada setiap perasan yang memabukkan karena sama-sama bisa menutupi akal.[2]
Definisi Khomr secara Istilah
Para ulama pakar fiqih berselisih pendapat dalam menentukan definisi khomr secara istilah.
Pendapat pertama yang mengatakan bahwa khomr itu meliputi segala sesuatu yang memabukkan sedikit ataupun banyak, baik berasal dari anggur, kurma, gandum, atau yang lainnya. Pendapat ini dipilih oleh para ulama Madinah, ulama-ulama Hijaz, para pakar hadits, ulama Hambali, dan sebagian ulama Syafi’iyyah.
Dalil dari pendapat pertama ini sebagai berikut.
Pertama: Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Setiap yang memabukkan adalah khomr. Setiap yang memabukkan pastilah haram.”[3]
Kedua: Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai al Bit’i (arak yang biasa diminum penduduk Yaman). Beliau mengatakan,
كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap minuman yang memabukkan, maka itu adalah haram.”[4]
Ketiga: Ibnu ‘Umar pernah mendengar ayahnya –‘Umar bin Khottob- berkhutbah di mimbar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar mengatakan,
أَمَّا بَعْدُ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ نَزَلَ تَحْرِيمُ الْخَمْرِ وَهْىَ مِنْ خَمْسَةٍ ، مِنَ الْعِنَبِ وَالتَّمْرِ وَالْعَسَلِ وَالْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ ، وَالْخَمْرُ مَا خَامَرَ الْعَقْلَ
“Amma ba’du. Wahai sekalian manusia, Allah telah menurunkan pengharaman khomr. Dan khomr itu berasal dari lima macam: anggur, kurma, madu lebah, hinthoh (gandum), dan sya’ir (gandum). Khomr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi akal.” [5]
Pendapat kedua yang mengatakan bahwa yang dimaksud khomr adalah anggur yang diperas jika berefek memabukkan. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama Syafi’iyyah, murid Abu Hanifah seperti Abu Yusuf dan Muhammad, dan sebagian ulama Malikiyah.[6] Pendapat ini asalnya adalah dari defisi khomr secara bahasa.
Pendapat yang Lebih Tepat dalam Mendefinisikan Khomr
Di antara dua pendapat di atas, pendapat pertama dinilai lebih tepat dengan beberapa alasan berikut.
Pertama: Dalil syar’i lebih mesti didahulukan daripada definisi bahasa. Perasan anggur adalah pengertian khomr secara bahasa. Sedangkan secara sya’i, khomr bermakna lebih luas yaitu segala sesuatu yang memabukkan, baik berasal dari perasan anggur, perasan kurma, dan lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Yang semestinya diketahui dengan seksama bahwa lafazh yang terdapat dalam Al Qur’an dan Al Hadits jika telah diketahui tafsirannya dan pengertiannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka seharusnya tidak perlu menoleh lagi pada berbagai hujjah yang disampaikan oleh pakar bahasa dan lainnya.”[7]
Kedua: Jika khomr dibatasi hanya pada perasan kurma, berarti kita telah mengeluarkan berbagai macaman minuman yang memabukkan dari definisi khomr. Padahal definisi khomr yang tepat adalah sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu segala sesuatu yang memabukkan. Jika melakukan demikian, maka itu berarti kita telah melakukan taqshir (pengurangan) dan taqshir termasuk bentuk kelewatan dalam batasan-batasan Allah. Jika kita menetapkan bahwa segala sesuatu yang memabukkan, maka kita pun tidak perlu berdalil dengan qiyas untuk menetapkan hukum bagi minuman yang memabukkan lainnya.[8]
Ketiga: Di Madinah dulu, tidak ada satu pun khomr yang terbuat dari anggur. Malah khomr yang ada terbuat dari kurma.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Kata khomr yang terdapat dalam bahasa Arab yang digunakan dalam Al Qur’an mencakup segala sesuatu yang memabukkan baik itu kurma dan selainnya, tidak dikhususkan hanya pada anggur saja. Ada riwayat shahih yang bisa dijadikan hujjah dalam masalah ini. Tatkala khomr diharamkan di Madinah An Nabawiyyah (setelah perang Uhud) pada tahun 3 H, pada saat itu tidak ada satu pun khomr yang terbuat dari anggur karena tidak ada pohon anggur ketika itu. Khomr penduduk Madinah yang ada berasal dari kurma. Tatkala Allah mengharamkan khomr, penduduk Madinah menuangkan khomr mereka atas perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan mereka menghancurkan bejana khomr yang ada. Mereka menyebut minuman yang dihancurkan tadi dengan khomr. Oleh karena itu, diketahui bahwa kata khomr dalam Al Qur’an itu lebih umum dan bukan hanya dikhususkan pada perasan anggur saja.”[9]
Kesimpulan: Khomr adalah segala sesuatu yang memabukkan, bukan hanya dibatasi pada perasan anggur saja.
Narkotik[10] dan Semacamnya Termasuk Khomr
Dari definisi di atas, setiap yang mengacaukan/menutup akal atau menghilangkan kesadaran termasuk khomr. Hal ini berdasarkan perkataan ‘Umar bin Al Khottob,
وَالْخَمْرُ مَا خَامَرَ الْعَقْلَ
“Khomr adalah segala sesuatu yang dapat menutupi (mengacaukan) akal.”[11]
Oleh karena itu, yang juga termasuk khomr adalah narkotik, ganja, heroin, morfin, ekstasi dan segala macam zat adiktif yang dapat menutup akal, membuat sakau dan tidak sadarkan diri. Narkotik dan semacamnya tadi dihukumi haram berdasarkan kesepakatan para ulama.[12]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya, “Apakah narkotik (atau semacamnya) boleh dikonsumsi karena ada sebagian orang yang membolehkan untuk mengkonsumsinya?”
Beliau rahimahullah menjawab, “Mengkonsumsi narkotik semacam ini adalah haram. Zat semacam itu adalah sejelek-jelek makanan, baik dikonsumsi sedikit ataupun banyak. Kebanyakan zat yang memabukkan dari zat semacam itu adalah haram berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Barangsiapa yang menganggapnya halal, maka sungguh dia telah kafir dan harus dimintai pertaubatannya. Jika tidak, maka dia harus dibunuh karena dianggap kafir murtad.”[13]
Perhatian: Meminum Sedikit Khomr Tetap Haram
Jika sesuatu dalam keadaan banyak sudah memabukkan, maka meminum sedikit pun dinilai haram. Inilah pendapat mayoritas ulama[14]. Mayoritas ulama Syafi’iyyah yang berpendapat bahwa disebut khomr jika berasal dari perasan kurma saja, mereka tidak menyelisihi pendapat jumhur dalam point ini.[15]
Dasar dari pendapat ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ
“Sesuatu yang apabila banyaknya memabukkan, maka meminum sedikitnya dinilai haram.”[16]
Apabila khomr yang dalam keadaan banyak sudah membuat mabuk dan mengacaukan akal sehingga menghilangkan kesadaran, maka jika khomr tersebut dikonsumsi dalam jumlah sedikit tetap dinilai haram. Namun yang jadi patokan mabuk atau tidaknya di sini adalah bukan orang yang punya kebiasaan minum minuman keras, tetapi orang yang belum terbiasa. Karena jika orang yang jadi patokan adalah orang yang sudah terbiasa minum minuman keras, maka dalam jumlah banyak pun boleh jadi ia belum teler.
Catatan:
Ada sebagian orang yang keliru dalam memahami hadits di atas. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Mereka menyangka bahwa makna hadits tersebut adalah jika sedikit khomr tercampur dengan minuman selain khomr, maka minuman tersebut menjadi haram. Ini bukanlah makna dari hadits di atas. Namun makna hadits yang sebenarnya adalah jika sesuatu diminum dalam jumlah banyak sudah memabukkan, maka kalau diminum dalam jumlah sedikit tetap dinilai haram.”[17]
Yang dimaksud Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pemahaman yang keliru, kami deskripsikan sebagai berikut.
Jika air segentong kemasukan miras sesendok maka air segentongnya, ada yang menganggapnya haram. Ini pemahaman keliru dalam memahami hadits “Sesuatu yang apabila banyaknya memabukkan, maka meminum sedikitnya dinilai haram.”
Namun yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah jika ada miras diminum 500 mL memabukkan, maka meminum miras tersebut sebanyak 1 sendok tetap dinilai haram meskipun orang yang bersangkutan belum mabuk jika hanya minum sebanyak itu.
Baca pembahasan selenjutnya: Apakah Khomr Itu Najis?
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Alumnus Teknik Kimia UGM angkatan ’02-’07)
Artikel https://rumaysho.com
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/1446, Multaqo Ahlul Hadits
[2] Lihat Al Qomus Al Muhith, Al Fairuz Abadi, 1/399, Mawqi’ Al Waraq
[3] HR. Muslim no. 2003
[4] HR. Bukhari no. 5586 dan Muslim no. 2001
[5] HR. Bukhari no. 5581 dan Muslim no. 3032
[6] Lihat pembahasan dua pendapat ini dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/1446-1447
[7] Majmu’ Al Fatawa, 7/286, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[8] Lihat I’lamul Muwaqi’in ‘an Robbil ‘Alamin, 1/266-267, Darul Jail, 1973
[9] Majmu’ Al Fatawa, 34/187-188, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[10] Berdasarkan UU RI No. 22 tahun 1997, narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. (Sumber: Narkoba dan Permasalahannya, Kepala Dinas Pendidikan Propinsi DIY, 2004, hal. 2)
[11] HR. Bukhari no. 5581 dan Muslim no. 3032
[12] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/387
[13] Majmu’ Al Fatawa, 34/213.
[14] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/1450
[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 1/386, Al Maktabah At Taufiqiyah
[16] HR. Abu Daud no. 3681, At Tirmidzi no. 1865, An Nasa-i no. 5607, Ibnu Majah no. 3393. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Ghoyatul Marom 58.
[17] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 11/189, Asy Syamilah